Jebreeet….
Seketika media nasional dihebohkan
dengan aksi kontroversial salah satu
menteri kabinet kerja Jokowi-Jusuf Kalla yang baru saja dilantik, siapa lagi
kalau bukan Ibu Susi Pudjiastuti, tentu bukan saja karena beliau tamatan SMP tapi
bisa jadi Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, melainkan attitude nya sebagai pemimpin yang notabene panutan rakyat malah melakukan
perlaku yang kurang beretika. Seusai diumumkan secara resmi sebagai menteri oleh
Presiden terpilih di istana negara, susi dengan acuh merokok di istana negara yang notabene ruang publik dan sudah
ada Perda DKI yang menyatakan larangan merokok di ruang publik.
Tentu tullisan ini tidak akan membahas
panjang kisah menteri yang kontreversial itu, saya akan banyak bercerita
tentang fenomena rokok dan perkembangan penggunaan tembakau di indonesia. Tulisan ini juga dibuat tidak untuk
menyudutkan atau mencaci para perokok, hanya memberikan gambaran saja sejauh
mana dinamika industri rokok dan dampak sosial-ekonomi nya bagi masyarakat.
Dinamika Kebijakan Industri
Rokok Dunia
Fakta membuktikan tembakau merupakan
penyebab utama kematian yang kedua saat ini, separuh dari pengguna tembakau
saat ini akhirnya akan terbunuh yang ditimbulkan oleh aktivitas merokok. Khususnya
di indonesia, Semua menjadi biasa ketika daya canduannya menguasai manusia
demikian kuat sehingga Negara seperti dibuat tidak berdaya untuk mengendalikan
laju perokok di negaranya. Dibantu oleh media iklan yang bagus, sehingga mampu
membius masyarakat untuk terus melakukan aktivitas merokok.
Di negara paling liberal di dunia seperti
Amerika Serikat saja, penggunaan tembakau itu dibatasi, tidak semua industri di
AS bisa mengolah tembakau menjadi rokok secara bebas, ada batasan atau syarat
yang harus dipenuhi oleh industri tersebut agar bisa memproduksi rokok, misal
larangan rokok non menthol (kretek), bahkan di tahun 2010 terbit Undang Undang
Anti Kretek.
Di negara paman sam rokok tidak dijual bebas, tidak sembarang toko bisa menjual
rokok. Hanya toko tertentu yang boleh menjual rokok. Warga yang mau membeli
rokok juga diharuskan untuk orang dewasa, anak-anak dilarang keras membeli
rokok. Apabila pihak toko ketahuan menjual rokok kepada warga yang tidak berhak
atau dibawah umur akan dikenakan denda. Ini membuktikan Amerika Serikat sebagai
bapaknya negara liberal saja, tidak liberal (bebas) dalam pengaturan kehidupan
masyarakat. Negera hadir membuat
regulasi agar rokok tidak merusak generasi muda. Bagaimana dengan will pemerintah indonesia dalam kasus
rokok?
Bahkan Kuba yang merupakan penghasil
hampir seluruh persediaan cerutu di dunia memberlakukan larangan merokok di
tempat umum pada bulan Februari 2005. Pemimpin politik Kuba, Fidel Castro,
pernah menjadi perokok berat dan berhenti merokok karena gangguan kesehatan.
Lembaga Parlemen Eropa di Strasbourg,
Prancis telah menyetujui peraturan tembakau yang komprehensif untuk mengurangi
jumlah perokok di Eropa. Di Singapura,
di mana larangan merokok didukung dengan adanya denda yang berat,
bertekad untuk mengikuti jejak Bhutan (thailand) yang menjadi sebuah negara
bebas-rokok. Di sana, merokok di tempat umum didenda US$600, sedangkan menjual
rokok kepada anak-anak didenda US$6000.
Prakarsa awal kampanye
larangan-merokok PBB banyak muncul dari negara Eropa. Pada bulan Juli 2005, Uni
Eropa menyampaikan pengarahan yang mengharuskan semua negara Uni Eropa melarang
iklan rokok di semua terbitan, radio, dan internet. Bagaimana dengan iklan
rokok di indonesia?
Fenomena Merokok dan Dampak
Sosio-Ekonomi untuk Generasi Muda di Indonesia
Di indonesia, rokok dijual bebas dan
tidak ada regulasi pembatasan atau berrier
untuk industri tembakau. orang tua-muda dewasa bahkan anak-anak bebas membeli
dan mengkonsumsi rokok. Sebenarnya penerapan denda dan larangan merokok
ditempat umum salah satu solusi yang baik untuk mengurangi dampak negatif
merokok, sehingga perlu diterapkan secara nasional di indonesia. Sepengetahuan
penulis, kota-kota besar masih banyak yang belum menerapkan larangan merokok
ditempat umum, DKI Jakarta adalah salah satu contoh wilayah yang menerapkan
larangan rokok di tempat umum, itupun masih belum ditegakkan secara menyeluruh.
Serta beberapa hari yang lalu Pemkot Bandung menerapkan aturan yang sama untuk
melindungi warganya dari bahaya radikal bebas asap rokok.
Ketika diluar negeri iklan rokok
sangat-sangat dibatasi, di indonesia justru berkebalikan. Iklan rokok menyebar
dimana-mana seperti virus, siang-malam
berseliweran iklan rokok di media televisi, cetak dan elektronik. iklan rokok
hampir muncul di sudut-sudut sendi bernegara. Mereka muncul di berbagai bidang.
Di bidang pendidikan khususnya di perguruan tinggi, perusahaan-perusahaan rokok
hadir sebagai sponsor beasiswa, serta sebagai sponsor aktivitas kegiatan kemahasiswaan.
Dibidang olahraga lebih gila, produk rokok muncul sebagai sponsor tunggal
berbagai kejuaraan cabang olah raga yang
seharusnya mengusung kesehatan jasmani.
Yang menarik, iklan rokok TIDAK PERNAH
menampilkan sosok yang sedang melakukan aktivitas merokok, iklannya justru menampilkan sosok lelaki yang tegak
berbadan kekar, kemudian berkelana jauh menaiki pegunungan. Seolah ingin
menunjukkan kalau merokok adalah lelaki yang perkasa.
Di Indonesia, dengan dalih finansial
seperti penerimaan pajak cukai yang besar dalam menyumbang APBN membuat
pemerintah seolah tidak punya will untuk
membuat regulasi agar menahan laju perokok di indonesia. Harus diakui memang multiplier effects atau manfaat domino
yang ditimbulkan dari mata rantai industri rokok mulai dari hulu-hilir cukup
menyerap tenaga kerja seihngga mengurangi pengangguran, hal ini menjadi salah
satu alasan pemerintah seolah enggan mengatasi masalah ini. Tapi sebenarnya ini
bisa diatasi, pemerintah tentu punya “power” sangat kuat untuk memindahkan
petani tembakau ke industri pertanian lain yang saat ini lebih baik dan
menopang perekonmian negara, misalkan kita masih banyak impor untuk kebutuhan
pokok kita, sebut saja beras, garam, susu, daging sapi, dan produk
rempah-rempah. Tentu petani tembakau kita bisa dialihkan ke berbagai jenis
pertanian tersebut.
Dari sisi pengusaha, industri rokok tentu
menjadi bisnis yang mampu meraup untung besar, bayangkan saja dengan jumlah
penduduk indonesia yang begitu besar ditambah dengan media kampanye yang
menarik, indonesia menjadi pasar empuk untuk industri rokok, bahkan beberapa
orang terkaya di indonesia adalah Bos-bos pabrik rokok, Hebat!
Bisnis ini jelas menggiurkan ditengah
candu yang luar biasa masyarakat indonesia akan merokok, meski dampak sosial,
ekonomi dan kesehatannya jauh lebih besar ketimbang urusan penerimaan pajak. Di
indonesia, besaran cukai rokok rata-rata baru 38 persen. Padahal, dalam Pasal 5
UU Nomer 39 Tahun 2007, pemerintah boleh mematok cukai hingga 57 persen.
Meskipun, besaran itu masih rendah dibandingkan patokan cukai luar negeri yang
mencapai 65 persen. Artinya masyarkat
jelas lebih banyak dirugikan dari industri rokok, nilai pajak yang diterima jelas
tidak sebanding dengan kerugiannya. Pemerintah mungkin sulit kalau menghapuskan
industri rokok, tapi setidaknya pemerintah seharusnya lebih “berani” menaikkan
pajak rokok, sehingga harga rokok dipasaran naik, sehingga rakyat berpikir dua
kali untuk merokok.
Rokok itu bukan barang substitusi, jadi
tidak ada barang alternatif pengganti lain ketika harga rokok menjadi naik.
Sehingga permintaan akan rokok akan terus ada dalam perekonomian. Kebijakan
penaikan ini hanya untuk mengajak perokok dari rakyat kelas bawah untuk
berhenti merokok dan lebih membelanjakan uangnya untuk konsumsi lain yang lebih
manfaat, lebih-lebih juga untuk mengajak perokok kalangan atas yang
rasionalitasnya tinggi untuk berhenti merokok.
Dengan menaikkan pajak rokok,
sebenarnya negara tidak akan kehilangan sumber pendanaan, karena orang yang
berhenti merokok akan mengalokasikan uangya untuk membeli barang dan jasa yang
akan kembali ke kas negara, serta beban negara (jamkesmas) akan berkurang
banyak hanya karena mengobati orang-orang miskin yang sakit karena dampak merokok.
Karena kalau orang kaya yang sakit, tentu bebannya tidak di tanggung negara.
Hambatan besar dari keberanian
pemerintah untuk menaikan pajak rokok adalah suap dari kalangan pengusaha
industri rokok, karena mereka tidak akan tinggal diam. Mereka bisa banyak
bermain di parlemen dan pemerintahan eksekutif untuk mengubah aturan. Inilah
salah satu bahayanya kalau konglomerat masuk politik sebagai penyumbang dana
pemenangan kekuasaan baik pemerintah pusat/daerah dan DPR-DPD-RI atau DPRD
tingkat I dan II.
Kenikmatan merokok yang katanya
sebagai penghilang stres, jelas tidak sebanding dengan dampak buruk yang
ditimbulkannya, misalkan kesehatan individu dan sosial serta kebersihan
lingkungan dan lain-lain. Banyak
penyakit yang ditimbulkan dari merokok, baik perokok aktif maupun passif. Merokok
juga secara jelas dan meyakinkan telah membuat orang menjadi berkurang daya
belinya, fisik menjadi tidak sehat, yang mengakibatkan angka harapan hidup
masyarakat rendah sehingga berefek pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
juga rendah. Rendahnya angka kesehatan masyarakat tentu akan berdampak kepada
produktifitas output negara yang terus berkurang. Semakin rendahnya
produktifitas output akan berdampak kepada angka PDB aktual yang semakin kecil
dari angka potensialnya (potencial lost).
Semakin memprihatinkan ketika muncul
realitas yang sulit diterima nurani, sekarang orang miskin bahkan rela tidak
makan, yang penting bisa tetap merokok, atau orang tua lebih memilih beli
rokok, ketimbang menabung untuk menyekolahkan anaknya sampai pendidikan yang
tinggi. Ini kan cara berpikir dan perilaku yang diluar kewajaran, Racun lebih
disukai masyarakat ketimbang madu.
Jelas merokok adalah ancaman untuk
generasi muda kita, padahal generasi muda adalah tulang punggung negara dan agen
perubahan bangsa yang akan meneruskan estafet kepemimpinan indonesia dimasa
depan. Tentu kita semua tidak mau memiliki negara dengan generasi muda yang
sakit, yang tidak memiliki produktifitas yang tinggi. Negara mutlak harus hadir
untuk menyelamatkan asset terbesar masa depan bangsa, ditambah dengan peran
aktif masyarakat dalam mendorong satu sama lain untuk berhenti melakukan
aktifitas yang tidak bermanfaat bahkan cenderung bahaya dan membahayakan.
Bagaiman sikap Agama
menyikapi kegiatan merokok?
Dalam kehidupan bernegara tentu kita
tidak bisa memisahkannya dengan urusan agama, terlebih berdasarkan pasal 29
ayat 1 UUD 1945, Indonesia adalah Negara dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang
Maha Esa. Artinya indonesia adalah negara yang beragama.
Dalam perspektif agama penulis
(Islam), tentu saja merokok termasuk kedalam perkara yang ada hukumnya.
Perspektif ulama Islam di Indonesia sendiri terbagi beberapa pandangan. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah organisasi
persatuan umat islam yang cukup besar di indonesia menyikapi perbuatan merokok
sebagai perbuatan yang makruh. Makruh adalah
sesuatu perkara yang apabila dilakukan tidak mendapatkan apa-apa, tetapi
apabila meninggalkan perkara tersebut mendapatkan pahala. Artinya tidak ada
konsekuensi kerugian (dosa) secara perhitungan amaliah.
Sedangkan menurut pandangan Muhammadiyah, yang merupakan salah satu ormas
Islam cukup besar berpandangan lebih keras, Muhammadiyah sudah mengeluarkan
Fatwa bahwa merokok adalah sebuah perkara yang haram. Artinya, merokok adalah perkara
yang dilarang dan tidak boleh dilakukan. Konsekuensi dari haram adalah apabila
manusia tetap melakukannya, maka akan mendapatkan dosa.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Lembaga
Formal Resmi Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan
Islam di Indonesia, telah mengeluarkan fatwa haram soal merokok di tempat umum
sejak 2009. Tidak hanya larangan di ruang publik, dalam fatwa itu juga
disebutkan bahwa merokok haram bila dilakukan anak-anak dan wanita. Tentu
sebagai muslim yang beriman dan
bernegara di negara yang beragama ini, kita harus mentaati fatwa ulama yang
merupakan warosatul anbiya.
Namun
bagi kita sebagai muslim, harus berpegang teguh kepada firman Allah SWT :
“Dan Janganlah kalian
menjerumuskan diri kalian dengan tangan kalian sendiri ke dalam jurang
kerusakan.” (QS. Al Baqarah (2): 195)
“Dan
Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri ..” (QS. An Nisa (4):
29)
Perilaku merokok termasuk dalam
konteks melukai/menjerumuskan/membunuh diri sendiri, sama seperti 2 ayat
diatas. karena merokok memiliki dampak negatif yang banyak seperti yang
dikemukakan diawal. Sebagai muslim yang taat, tentu kita tidak mau menjadi
makhluk yang dibenci oleh penciptanya.
Walahul ’alam bisshoab..
0 komentar:
Posting Komentar